Selasa, 09 November 2010

"Sasi" Melawan Degradasi Lingkungan

KOMPAS.com - Jauh sebelum orang-orang secara global membahas pentingnya pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan, masyarakat Maluku sudah menerapkannya sejak lama. Melalui hukum adat sasi yang diwariskan turun-temurun dari leluhur, orang Maluku dengan sendirinya telah menjaga kelestarian lingkungan.
Mereka percaya jika dilanggar, bencana akan langsung menimpa.
Saat beragam jenis ikan di Teluk Un di Desa Taar, Kecamatan Dullah Selatan, Tual, menyusut akibat penangkapan setiap hari oleh nelayan setempat pertengahan Maret lalu, pemangku adat tertinggi di desa itu bersama sejumlah tetua adat dari empat marga berkumpul.
Perlunya sasi dipakai di Teluk Un mengemuka dalam pertemuan. Semua yang berkumpul sepakat sasi digunakan.
Sasi yang di Pulau Kei Besar disebut yot dan di Pulau Kei Kecil disebut yutut adalah larangan untuk mengambil sumber daya alam di suatu kawasan dalam jangka waktu tertentu, biasanya enam bulan sampai satu tahun. Tujuannya, menjaga kelestarian lingkungan dan menjamin hasil lebih berkualitas dan berlipat di masa depan.
Upacara adat pun digelar. Tiga janur kuning dan kayu jenis ai num sebagai syarat sasi pun disiapkan. Usai doa adat dan doa oleh pemuka adat di gereja dilakukan, janur kuning diikat pada kayu lalu ditancapkan di dasar teluk.
”Selama satu tahun, ikan apa pun di teluk itu tidak boleh diambil,” ujar Kepala Desa Taar sekaligus pemangku adat tertinggi di Desa Taar, Herman Tarantain. Nelayan harus mencari ikan di lokasi lain sampai populasi ikan di Teluk Un pulih.
Salah satu contoh pelaksanaan ketika sasi dibuka tiga tahun lalu, hasil ikan di Teluk Un melimpah. Saking melimpahnya, sebagian dari hasil ikan itu lalu dijual dan uangnya dipakai untuk pembangunan sekaligus peresmian gereja baru di Taar.
Di tempat lain di Pulau Kei Besar, pulau yang bersebelahan dengan Tual dan Kei Kecil di Maluku Tenggara, sasi kerap digunakan melindungi hutan. Sasi juga secara rutin dipakai guna menjamin kesinambungan populasi lola (kerang). Kerang tidak hanya penting untuk mata pencarian warga, tetapi penting pula guna mengubah zat polutan menjadi nutrisi bagi ikan.
Di mana pun sasi dipasang, warga Kei pantang melanggarnya. ”Mereka percaya jika dilanggar, bencana akan langsung menimpa. Bencana itu bisa sakit yang tidak bisa disembuhkan dokter atau bahkan bisa sampai meninggal,” ujar Theodorus Reyan (57), warga Loon, Kei Kecil.
Membayar denda
Tak hanya itu yang membuat mereka gentar. Ketika seseorang ketahuan melanggar, ia harus membayar denda sebagai syarat agar dosa adat bisa dicabut.
Denda itu berupa pemberian lela (miniatur meriam berwarna emas) dan mas adat (berbentuk gelang dari emas). Satu lela bisa berharga Rp 10 juta, sedangkan satu mas adat bisa berharga Rp 500.000. Jumlah lela dan mas adat yang diberikan tergantung keputusan tetua adat.
Lela ini sebetulnya adalah sisa-sisa bukti dari perdagangan Portugis dan masyarakat Kei pada masa lampau, sedangkan emas gelang merupakan bukti perdagangan masyarakat Kei dengan pedagang dari China.
”Dulu masyarakat Kei menukar perahu, kayu, atau logistik dengan lela dan gelang sehingga lela dan gelang banyak di Kei,” ujar Gregorius Wens Rahawarin, budayawan Kei yang sekarang berusia 75 tahun.
Namun, kini jumlah lela dan mas adat terus berkurang. Penjualannya ke luar Kei semakin marak, seiring dengan tingginya harga jual barang-barang bersejarah itu. Dengan kondisi ini, praktis harga lela dan mas adat di Kei sendiri terus meningkat. Lela dan mas adat ini juga dijadikan syarat saat pria hendak menikahi perempuan.
Masyarakat Kei meyakini sasi, yang juga disebut hawear, digunakan pertama kalinya untuk melindungi Dit Sakmas, satu dari delapan anak Kasdewa dan Dit Ratngil, leluhur Kei yang dipercaya berasal dari Bali.
”Sasi dipakai untuk melindungi Dit Sakmas dari orang yang mengganggu setelah menikah dengan Raja Danar di Pulau Kei Kecil, Hila Ai Arnuhu,” kata Rahawarin, yang terlibat dalam perumusan sejarah hukum adat Kei, Lar Vul Ngabal.
Hukum sasi itu mengacu pada pasal ketujuh dari tujuh aturan di Lar Vul Ngabal. Pasal ketujuh itu menyebutkan Hira I ni fo I ni, it did fo it did (milik orang lain tetap milik mereka, milik kita tetap milik kita).
Dua peneliti Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Maluku dan Maluku Utara, Marten Pattipeiloh dan Mezak Wakim, mengatakan, hukum sasi tidak hanya di Kei, tetapi juga diterapkan di Maluku dan Maluku Utara.
(A Ponco Anggoro)
Kompas Cetak
Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar